Ga tau kata yang pas untuk memulainya.
Ga tau kalimat pembuka untuk mengantarkannya.
Tapi yang ku tau ini jelas suatu masalah. Masalah yang lagi diusahakan untuk diselesaikan. Dicari tau maknanya.
Selidik punya selidik, sindrome krisis ¼ abad... ternyata memiliki korban yang tersebar merata di muka bumi ini. Ya. Siapa sih yang ga melewatinya? Kecuali jika malaikat menjemput diusia lebih awal dengan alasannya masing-masing (pembicaran dengan topik yang sangat berat #178kg).
Kini aku mulai mengalaminya. Dan ini jelas dan sangaaaaaaaaaat jelas masalah.
“You can’t make any decisions because you don’t know what you want. And you don’t know what you want because you don’t know who you are. And you don’t know who you are because you’re allowed to be anyone you want. How messed up is that?“
>>>NGerti??? Ayolah paham pahamkan dengan caramu!!! ^o^<<<
Seorang sosiolog Amerika, Roger Gould menghubungkan fase dan krisis dalam pandangannya tentang transformasi perkembangan. Menurutnya, paruh kehidupan adalah sama bergejolaknya dengan masa remaja, dengan pengecualian bahwa selama masa dewasa tengah usaha untuk menangani krisis mungkin akan menghasilkan kehidupan yang lebih bahagia dan lebih sehat. Dia percaya bahwa dalam usia 20-an, kita menerima peran-peran baru, dalam usia 30-an kita mulai merasa terjepit dengan tanggung jawab kita, dalam usia 40-an kita mulai merasakan perasaan urgensi bahwa hidup kita cepat berlalu. Menurutnya, menangani krisis paruh kehidupan dan menyadari bahwa perasaan urgensi merupakan reaksi alami terhadap fase ini membantu kita menuju jalan kematangan yang dewasa.
Deborah Smith, Professor Sosiologi di University of Missouri, Kansas City mengatakan bahwa, “Beranjak dewasa dan memikirkan bagaimana masa depan Anda akan terasa menyakitkan, terutama dalam masa quarter life crisis. Namun, ini merupakan hal alamiah.”. Smith menuturkan, banyak orang mengalami kecemasan di usia 20-an karena usia tersebut adalah masa pertama kali mereka menjalani kehidupan sesungguhnya. “Di benak saya, ini bukanlah suatu krisis. Ini merupakan keputusan, tekanan dan perubahan pada fase kehidupan.”, jelas Smith.
Oke, jika kita bahas dengan cara yang sederhana.
Dulu ketika usia 4 tahun, hal yang kita inginkan adalah sekolah berseragam putih merah dan berdasi merah. dan itu kita lewati. Setelah itu hal yang kita inginkan apa? Berseragam putih biru. Dan fase selanjutnya yang ingin segera kita capai?? Berseragam putih abu2 (walau sebenarnya putih-biru muda). Dan ketika telah sukses kita lewati selama 3 tahun dengan bejibun soal ujian negara dan segala les mata pelajaran yang kita jalani. Apa yang kita inginkan? Kuliah dong.. S1, S2, S3 dan seterusnya. . . Pasti.
Dan bila telah sampai ketahap ini. Ditahap gelar S1 sudah ada dibelakang nama. Timbullah, suatu sindrome. Sindrome 1/4 abad. Ternyata, lulus kuliah bukanlah akhir dari segala-galanya. Coba renungkan. Babak baru dalam hidup telah dimulai. Akan timbul pertanyaan disekitarmu yang sangat ingin tau. Kapan nikahnya? Dan tiba-tiba saja buku diary menjadi penuh, guratan didahi semakin jelas sebagai akibat perenungan yang mendadak sering dilakukan, apalagi saat memasuki usia 25 tahun di tengah-tengah rekan-rekan yang lainnya sudah menyebarkan undangan dan bahkan ada yang berkeluarga dan beberapa yang lainnya sudah sukses menapaki kariernya sedangkan kita belum dan ternyata semakin merenung target yang sudah ditulis juga belum terealisasi. Ini bisa membuat kecemasan berlebihan seperti ingin berlari sekencang-kencangnya untuk mengejar teman-teman yang lain.
Itulah sebagian masalah yang termasuk dalan krisis seperempat baya atau yang lebih dikenal dengan quater life crisis. Krisis seperempat baya adalah istilah yang diberikan pada suatu periode hidup di mana terjadi perubahan besar pada proses pendewasaan, biasanya terjadi pada sekitar umur awal 20-30an. Perubahannya meliputi aspek emosional dan aspek finansial/profesional. Istilah ini awalnya mulai diperkenalkan oleh Abby Wilner pada tahun 1997. Dalam bukunya ”Quarterlife Crisis: The Unique Challenges of Life in Your Twenties” yang ia tulis bersama Alexandra Robbins pada tahun 2001, Wilner menjelaskan bagaimana lompatan kehidupan dari dunia akademis menuju dunia profesional sering menyakitkan dan memicu respon ketidakstabilan luar biasa pada diri seseorang. Perubahan yang awalnya terasa begitu konstan dihadapkan dengan beragam pilihan yang tak jarang memunculkan rasa panik tak berdaya. Ketidakstabilan, perubahan, dan rasa tak berdaya inilah yang seringkali menimpa pemilik usia 20-an.
Mereka yang sedang dalam fase krisis seperempat baya biasanya mengalami hal-hal seperti ini :
- merasa tidak cukup baik karena tidak menemukan pekerjaan yang senilai dengan level akademiknya
- rasa frustasi pada hubungan antarmanusia, dunia kerja dan proses menemukan pekerjaan/karir
- kebingungan pada identitas diri
- rasa ketakutan akan masa depan
- rasa ketakutan pada rencana jangka panjang dan tujuan hidup
- rasa ketakutan pada keputusan saat ini
- peninjauan kembali akan hubungan dekat saat ini
- kekecewaan pada pekerjaan
- nostalgia pada kehidupan kuliah bahkan masa sekolah
- kecenderungan untuk memilih opini-opini yang lebih kuat
- kebosanan pada interaksi sosial
- kehilangan keakraban pada teman sekolah/kuliah
- stress finansial (beban ‘membayar kembali’ biaya kuliah, mulai memikirkan besarnya biaya hidup, dll)
- kesepian
- keinginan memiliki keluarga/anak
- perasaan bahwa semua orang melakukan hal yang lebih baik darimu
- status fresh graduate alias ‘tidak punya pengalaman kerja’ hingga terjebak pada pekerjaan-pekerjaan membosankan yang tidak sesuai dengan keahlian intelektual.
Ternyata ga banyak informasi, bagaimana kita melewati babak ini.
Namun, ini harus dijalani.
Jalanilah... seiring waktu kita akan mengerti.
Jadi, hal yang masih kudapat saat ini,...
Paham Pahamkanlah Masalahmu dengan Pemahamanmu Sendiri. ^o^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar